KAMPAR, riau.relasipublik – Selain keindahan alam, keberadaan benda bersejarah juga salah satu yang yang bisa “dijual” dalam industri pariwisata.
Banyak orang berbondong-bondong datang ke museum, benteng, masjid, makam, istana, prasasti, arca, candi dan berbagai benda bersejarah lainnya. Kebesaran sejarah dan cerita yang mengiringinya sering menjadi “jualan” kepariwisataan yang amat diminati.
Selain kebesaran sejarahnya, cerita-cerita rakyat yang mengiringinya tak jarang menjadi faktor yang lebih besar bagi daya tarik pengunjung untuk datang dan mencari tahu cerita yang secara turun-temurun telah diyakini dan menjadi buah bibir masyarakat tempatan.
Mungkin anda tidak asing lagi dengan cerita rakyat dari Ranah Minang. Ya, cerita rakyat tentang Si Malin Kundang, anak durhaka yang dikutuk jadi batu akibat tidak mengakui ibunya setelah ia merantau dan menikah dengan gadis bangsawan kaya di tanah rantau.
Ia kemudian dikutuk jadi batu lantaran durhaka pada wanita yang telah melahirkan dan membesarkannya. Ceritanya, Ia malu memiliki ibunya yang miskin tua dan kumuh pada keluarga sang pujaan hati nan kaya raya. Batu itu kini bisa kita kunjungi di pantai Air Manis, Padang, Sumatera Barat.
Begitulah cerita rakyat yang mengiri Batu Malin Kundang di tepi pantai Padang Sumbar itu. Bahkan cerita ini telah tersebar luas dan melegenda hingga kini menjadi magnet bagi para wisatawan.
Itulah salah satu contoh konkrit dari cerita rakyat yang berefek nyata bagi tingkat kunjungan wisatawan ke suatu spot wisata.
Cerita rakyat yang tak kalah menarik juga ada dari Lipatkain, Kampar Kiri. Tepatnya di Koto, Desa Lipatkain Selatan, Kecamatan Kampar Kiri. Hanya berjarak lebih kurang 500 meter dari kediaman orang tua Repol, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Kampar.
Di sini ada Cangkir besar yang terbuat dari tanah liat yang begitu kokoh. Warga setempat menyebutnya dengan Cangkiu (Cangkir) Datuok Kumbuok. Konon katanya, cangkir ini adalah cangkir seorang datuok yang ukuran badan sangat besar di masa lampau.
Bahkan katanya, ukuran badannya jauh melebihi ukuran badan manusia normal dewasa masa kini.
“Macam mana besar badan Datuok Kumbuok, mungkin bisa kita lihat dari ukuran cangkirnya itu. Kalau cangkir tempat minumnya sebesar itu, bagaimana ukuran badan sang Datuok, tentu bisa kita bayangkan ukuran badan Si Datuok Kumbuok,” ujar seorang warga yang kami temui di lokasi, pertengahan pekan lalu.
Dari penulusuran kami dari warga setempat juga menyebut, saking besarnya badan Datuk Kuombuok, Konon ayunan sang Datuk diikat dari satu batang kelapa yang tinggi ke satu batang kelapa yang tinggi lainnya.
Ketika Belanda datang ke daerah ini dan melihat ayunan Datuk Kumbuok setingi itu, terang saja membuat nyali para kompeni takut masuk ke desa ini karena tak mau mencari perkara dengan Datuok Raksasa di tempat itu.
Cerita lain tentang Datuok Kumbuok selain badannya yang seukuran raksasa juga tentang kesaktiannya. Kini, cangkir Sang Datuok juga tak kalah keramatnya. Cangkir ini terletak di halaman dekat rumah seorang warga.
Tempat cangkir ini berada telah dipugar dengan dipagari besi tanpa diatap. Namun, satu yang aneh, volume air di dalam cangkir tetap berukuran sama alias tidak akan bertambah dan tidak akan berkurang meski di musim kemarau maupun di musim penghujan sekalipun.
Hanya saja, kemasyhuran Cangkiu Datuok Kumbuok ini tidak terlalu dikenal ke publik secara luas orang akibat kurang diangkat ceritanya ke permukaan. Tak ayal, banyak orang yang lewat maupun sengaja datang ke Kampar kiri melewatkan kunjungan untuk melihat Cangkiu Datuok Kumbuok ini. (Mrn)